Selamat datang di Coretan Sederhanaku, Semoga Coretan Sederhana ini Sedikitnya bisa bermanfaat bagi anda"Feliks Jerych"

Senin, 06 Januari 2014

RASA YANG TERPENDAM



Oleh : Feliks Jerych

Matahari telah berubah warna, tidak lagi pantas disebut sebagai matahari subuh. Bias keemasan telah rontok satu per satu di sudut sinarnya. Kini langit memudar menjadi cakrawala yang berwarna sedikit biru, dikelilingi awan-awan putih. segala isi bumi bersorak gembira mengimbangi keramahan sang mentari, angin bersapoi membebaskan daun-daun dari kebekuan dinginnya malam. perpaduan angin yang berhembus kecil dan sinar mentari pagi yang masih terasa hangat menyegarkan flamboyan alam  yang merindangi jalan stapak yang kulewati. Suasana pagi itu sangat bertentangan dengan suasana hatiku yang penuh dengan kegelisahan. Yah… gelisah…
Gelisah karena rindu, namun aku tak tahu siapa yang kurindukan. soal  cinta  pun aku masih bingung, sipa yang kucintai.?  karena aku sadar, aku adalah orang yang kurang beruntung soal cinta.
Dulu aku pernah mencintai seseorang. Waktu itu aku masih duduk di kelas 3 SMP, hari-hari kulalui dengan penuh ceria. waktu itu yang ada dalam benak ku cuma bersenang-senang, gila-gilaan; tak ada kata galau, sedih, dan bahkan susah, ataupun hal-hal lain yang sudah menjadi kekhasan anak mudah zaman sekarang.

***
Bel berbunyi, pertanda pelajaran pertama sudah selesai. Semua penghuni kelas berduyun-duyun meninggalkan ruangan, entah apa yang mereka pikirkan aku tidak tahu pasti. Tetapi karena hal-hal semacam sudah menjadi kebiasaan, aku bisa menebak mereka ada yang ke toilet, ada yang ke kantin, dan bahkan juga ada yang sekedar bermain-main di luar untuk menghilangkan kepenatan dari pelajaran matematika yang baru saja berakhir.  
Entah kenapa hari itu aku merasa betah di kursiku. Biasanya bila lonceng berbunyi aku adalah orang yang paling cepat meresponnya dengan lari-lari kecil meninggalkan ruangan. Dari kursi yang berada di jajar kedua dari depan, aku hanya duduk sembari tersenyum ke arah teman-temanku yang tampak sangat girang dan gembira dengan berakhirnya pelajaran matematika yang berdurasi 2 jam 45 menit itu. Yah… pelajaran matematika memang salah satu pelajaran yang penggemarnya sangat sedikit diangkatanku. Selain karena berkutat dengan angkah-angkah yang menjenuhkan juga karena Gurunya yang killer. Sangat membosankan.
Lama kelamaan, anak-anak yang tadinya bergirang dihadapanku sudah tidak tampak lagi. Sepertinya mereka telah berhasil membiusku, hingga aku tak sadar kalau aku sedang tersenyum dengan pandangan yang kosong.
“Hai… Nat.” sambil menepuk pundakku sebuah suara mengagetkanku.dia adalah Nesia “haiii…..kamu ngagetin aja ” aku balik menyapa, dan melemparkan pandangan ke arahnya. ekspresi yang mulanya kaget, berubah menjadi senyuman setelah kulihat yang berada dihadapanku saat itu adalah orang yang dihari-hari belakangan sangat aku kagumi. Sambil tersenyum dia mengatakan “Kamu ngelamun yah…” “oh… tidak,, ini, aku cuma…” belum selesai aku menjelaskan dia langsung memotong “sudahlah… ngaku aja, udah jelas-jelas ngelamun, pake senyum-senyum sendiri lagi. hayo… lagi mikirin siapa??”
Saat itu aku tidak bisa menjawab lagi, aku hanya tersenyum. Sambil menatap senyuman yang dia berikan. Dalam hati aku berkata, “aku tidak ngelamun, aku cuma menertawai teman-teman yang barusan gila-gilaan di teras.” aku tidak bisa lama-lama menatapnya, hatiku berdetak kencang membayangkan senyuman yang berada dihadapanku itu. Aku hampir tidak percaya senyuman yang selama ini selalu menghiasai alam pikiranku kini benar-benar berada dihadapanku. Aku tambah gugup ketika dia mengambil posisi duduk di sebelahku. Jujur seandainya peristiwa itu terjadi pada malam hari yang penuh keheningan dan kesunyian mungkin dia akan tahu dan akan mendengarkan bunyin detak jantungku yang semakin tak karuan.
Tiba-tiba aku kembali teringat kata-kata yang terakhir dia ucapkan “lagi mikirin siapa?” dalam hati aku menjawab “engkaulah yang aku pikirkan, engkaulah yang menjadi alasanku tetap tersenyum, aku rajin ke sekolah bukan karena pelajaran matematika ataupun pelajaran yang lain, tetapi aku rajin hanya karena untuk melihat senyumanmu. Andai saja engkau tahu semua ini, seandainya aku punya nyali untuk menyatakan perasaankudan ternyata kita mimiliki perasaan yang sama mungkin aku adalah orang yang paling bahagia di dunia ini.”
“Kenapa kamu, tidak ikut teman-teman ke luar? Hei….” dia menggoyang-goyangkan tangannya didepan mataku. membuat aku kaget. “eh… iya…. apa? maaf, tadi…” belum selesai aku bicara dia langsung memotongnya “itu kan, benar aku bilang, kamu ngelamun…” aku tambah malu, dan semakin gugup. “maaf… maaf… tadi kamu bilang apa?” aku mengalikan pertanyaanya tidak mau menjawab, aku takut keceplosan dan dia tahu apa yang sedang ku pikirkan. “ah tidak jadi deh,” sambil tersenyum dia bangkit berdiri menuju kursinya sendiri.  bersamaan dengan itu anak-anak mulai bermunculan lagi untuk mengikuti mata pelajaran kedua. Anak-anak tampak tersenyum, selain karena sudah kenyang, juga karena pelajaran kedua adalah mata pelajaran yang paling disukai yaitu Bahasa Indonesia.

***

Waktu serasa berjalan begitu cepat. Tak terasa hari itu tepatnya hari rabu adalah hari terakhir bagi kami menjalankan aktivitas sebagai pelajar SMP. Lima hari lagi kami akan mengikuti UAN. Hari itu semua guru tidak masuk mengajar, semua teman lelakiku memilih bermain sepak bola, sebagai bekal untuk menjadi kenangan, bila di SMA nanti tidak bersama lagi. Aku yang merasa gaya permain lebih bruk dari anak SD memilih untuk menonton. Aku duduk di bawah pohon mangga yang berada tepat di pinggir lapangan. Rasa gembira dan sedih menyelimuti hati dan pikiranku. Aku bergembira seperti halnya semua teman-temanku yang tampak tak sabar lagi mengakhiri aktivitas sebagai pelajar SMP, dan beranjak ke jenjang yang lebih tinggi untuk mencari tantangan dan pengalaman baru. Dibalik kegembiraan itu, aku merasa sedih, dalam hati aku berpikir dengan berakhirnya aktivitasku sebagai pelajar SMP, senyuman yang selama ini telah membuatku rajin ke sekolah tak akan terlihat lagi, walaupun terlihat, tetapi kehangatannya sudah berbeda. Semua harapan yang telah kususun rapih selama ini, sudah tak mungkin jadi kenyataan lagi.
Sesekali ada desakan dari dalam diriku, tapi aku tak tahu pasti itu dari dalam hati atau hanya dari pikiranku saja untuk berani menyatakan atau mengungkapkan perasaanku itu. Tetapi entah kenapa bibir dan lidahku seperti terkunci dan sulit untuk mengungkapkan.
“Haiii…. kenapa tidak ikut?” sebuah suarah yang tidak asing lagi ditelingaku memecahkan keheninganku. aku balik, ku lihat Nesia dengan Tania berjalan menghampiriku. Di tangan kiri dan tangan kanan mereka terlihat es krim yang masih utuh. “Haii… eh.. ada es krim, itu untuk saya yah…” candaku sambil melemparkan senyuman ke arah mereka. “Ah.. ngga, siapa bilang, ini untuk Jon” Nesia menyambungku. “baiklah…” jawabku sambil menunjukan wajah cembrut menandakan tidak setuju. Jon adalah salah satu teman kami yang saat itu ikut bermain sepak bola. Dalam hati aku sangat terpukul mengingat kedekatan Nesia dan Jon selama ini. Tetapi aku berusaha untuk tidak menunjukannya kepada mereka kalau aku sebenarnya cemburu… hehehe….
“Jangan sedih gitu dong, ini untuk kamu ko, ini ambilin…!!!” Nesia memberikan es krim yang ada di tangan kanannya. Sambil tergesa-gesa aku menjulurkan tanganku menerima es krim itu. Karena tak sanggup menatap Nesia aku melemparkan pandanganku ke Tania, dan melanjutkan senyuman yang awalnya kusugukan untuk Nesia. “Jawab dulu dong, kenapa kamu tidak ikut, inikan pertandingan terakhir kita?” mereka berdua serempak bertanya. Aku balik kearah mereka sambil membersihkan bibirku yang belepotan dengan es krim, “bukannya aku tidak menghargai moment ini, sebenarnya aku mau ikut, tetapi kamu tahukan permainanku lebih buruk dari anak SD” mereka semua tertawa, aku hanya tersenyum.
“Nanti kamu lanjut dimana?” Tanya Nesia. memecahkan keheningan yang sudah sekitar satu menit tercipta. belum tahu tu, belum ada pilihan yang pasti  “kalau kamu berdua di mana?” aku balik bertanya. “aku juga belum tahu ni, nanti kalau sudah ada jawaban kasi tahu ya, biar kita sama-sama lagi” lanjutnya sambil tersenyum,  tak sempat aku menjawab, mereka sudah berlari pulang. “kami duluan yah… da..da…”

***
Mentari pagi bersinar begitu indah, angin bulan Juni bersapoi menghempas embun yang masih bersarang di daun-daun. Tangkai-tangkai bunga bergoyang lembut semakin lama semakin tak beraturan, seakan ingin menggambarkan suasana hatiku yang saat berdetak tidak menentu.
Hari itu adalah hari pengumuman kelulusan, hatiku berdetak kencang tidak menentu. alasan yang pertama hatiku berdetak tidak menentu adalah seperti teman-teman yang lain tidak sabar untuk mengetahui hasil belajarku selama tiga tahun. Yang kedua dalam hati aku berkata, hari ini aku bisa melihat senyuman Nesia lagi, yang sudah sejak lama aku rindukan.
Situasi berubah setelah pengumuman kelulusan, suasana lapangan yang sebelumnya digunakan untuk Apel, saat itu berubah menjadi dua fenomena, sebagiannya dibanjiri oleh air mata tangisan dari anak-anak yang tidak lulus, dan sebagian yang lain dikuasai oleh teriakan-terikan kegembiraan. Aku yang waktu itu dikuasai oleh kegembiraan, tidak menghiraukan lagi perasaanku dan rencana awalku untuk melihat senyumannya, yang mungkin untuk terakhir kalinya.
Seiring waktu berlalu, suasana kembali normal, satu persatu anak-anak mulai hilang dari pandangan, perlahan keheningan mulai menguasai lapangan yang sempat ramai itu.
Keheningan itu, membawa aku pada senyuman Nesia, namun setelah kuperhatikan dengan seksama, senyuman itu tak lagi kutemukan. Aku hampir tak percaya, semuanya berlalu begitu cepat.

***
Kini sudah hampir 7 tahun aku tidak melihat senyuman itu secara langsung, tetapi entah kenapa senyuman itu tetap membekas dalam pikiranku. Terkadang kerinduan hadir, dan memaksa batinku untuk menemuinya, namun waktu telah membuat semuanya berubah dan aku menyadari aku bukanlah orang yang pantas untuk menemukan senyuman itu.

Yah… Kerinduan adalah resiko dari sebuah pertemuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar