Oleh : Feliks Jerych
Matahari telah berubah warna, tidak lagi pantas disebut
sebagai matahari subuh. Bias keemasan telah rontok satu per satu di sudut
sinarnya. Kini langit memudar menjadi cakrawala yang berwarna sedikit biru,
dikelilingi awan-awan putih. segala isi bumi bersorak gembira
mengimbangi keramahan sang mentari, angin bersapoi membebaskan daun-daun dari
kebekuan dinginnya malam. perpaduan angin yang berhembus kecil dan sinar
mentari pagi yang masih terasa hangat menyegarkan flamboyan alam yang merindangi jalan stapak yang kulewati.
Suasana pagi itu sangat bertentangan dengan suasana hatiku yang penuh dengan
kegelisahan. Yah… gelisah…
Gelisah
karena rindu, namun aku tak tahu siapa yang kurindukan. soal cinta
pun aku masih bingung, sipa yang kucintai.? karena aku sadar, aku adalah orang yang
kurang beruntung soal cinta.
Dulu
aku pernah mencintai seseorang. Waktu itu aku masih duduk di kelas 3 SMP,
hari-hari kulalui dengan penuh ceria. waktu itu yang ada dalam benak ku cuma
bersenang-senang, gila-gilaan; tak ada kata galau, sedih, dan bahkan susah,
ataupun hal-hal lain yang sudah menjadi kekhasan anak mudah zaman sekarang.
***
Bel
berbunyi, pertanda pelajaran pertama sudah selesai. Semua penghuni kelas
berduyun-duyun meninggalkan ruangan, entah apa yang mereka pikirkan aku tidak
tahu pasti. Tetapi karena hal-hal semacam sudah menjadi kebiasaan, aku bisa
menebak mereka ada yang ke toilet, ada yang ke kantin, dan bahkan juga ada yang
sekedar bermain-main di luar untuk menghilangkan kepenatan dari pelajaran
matematika yang baru saja berakhir.
Entah
kenapa hari itu aku merasa betah di kursiku. Biasanya bila lonceng berbunyi aku
adalah orang yang paling cepat meresponnya dengan lari-lari kecil meninggalkan
ruangan. Dari kursi yang berada di jajar kedua dari depan, aku hanya duduk
sembari tersenyum ke arah teman-temanku yang tampak sangat girang dan gembira dengan
berakhirnya pelajaran matematika yang berdurasi 2 jam 45 menit itu. Yah…
pelajaran matematika memang salah satu pelajaran yang penggemarnya sangat
sedikit diangkatanku. Selain karena berkutat dengan angkah-angkah yang
menjenuhkan juga karena Gurunya yang killer. Sangat membosankan.
Lama
kelamaan, anak-anak yang tadinya bergirang dihadapanku sudah tidak tampak lagi.
Sepertinya mereka telah berhasil membiusku, hingga aku tak sadar kalau aku sedang
tersenyum dengan pandangan yang kosong.
“Hai…
Nat.” sambil menepuk pundakku sebuah suara mengagetkanku.dia adalah Nesia “haiii…..kamu
ngagetin aja ” aku balik menyapa, dan melemparkan pandangan ke arahnya. ekspresi
yang mulanya kaget, berubah menjadi senyuman setelah kulihat yang berada
dihadapanku saat itu adalah orang yang dihari-hari belakangan sangat aku
kagumi. Sambil tersenyum dia mengatakan “Kamu ngelamun yah…” “oh… tidak,, ini,
aku cuma…” belum selesai aku menjelaskan dia langsung memotong “sudahlah… ngaku
aja, udah jelas-jelas ngelamun, pake senyum-senyum sendiri lagi. hayo… lagi
mikirin siapa??”
Saat
itu aku tidak bisa menjawab lagi, aku hanya tersenyum. Sambil menatap senyuman
yang dia berikan. Dalam hati aku berkata, “aku tidak ngelamun, aku cuma
menertawai teman-teman yang barusan gila-gilaan di teras.” aku tidak bisa
lama-lama menatapnya, hatiku berdetak kencang membayangkan senyuman yang berada
dihadapanku itu. Aku hampir tidak percaya senyuman yang selama ini selalu menghiasai
alam pikiranku kini benar-benar berada dihadapanku. Aku tambah gugup ketika dia
mengambil posisi duduk di sebelahku. Jujur seandainya peristiwa itu terjadi
pada malam hari yang penuh keheningan dan kesunyian mungkin dia akan tahu dan
akan mendengarkan bunyin detak jantungku yang semakin tak karuan.
Tiba-tiba
aku kembali teringat kata-kata yang terakhir dia ucapkan “lagi mikirin siapa?”
dalam hati aku menjawab “engkaulah yang aku pikirkan, engkaulah yang menjadi
alasanku tetap tersenyum, aku rajin ke sekolah bukan karena pelajaran
matematika ataupun pelajaran yang lain, tetapi aku rajin hanya karena untuk
melihat senyumanmu. Andai saja engkau tahu semua ini, seandainya aku punya nyali
untuk menyatakan perasaankudan ternyata kita mimiliki perasaan yang sama
mungkin aku adalah orang yang paling bahagia di dunia ini.”
“Kenapa
kamu, tidak ikut teman-teman ke luar? Hei….” dia menggoyang-goyangkan tangannya
didepan mataku. membuat aku kaget. “eh… iya…. apa? maaf, tadi…” belum selesai
aku bicara dia langsung memotongnya “itu kan, benar aku bilang, kamu ngelamun…”
aku tambah malu, dan semakin gugup. “maaf… maaf… tadi kamu bilang apa?” aku
mengalikan pertanyaanya tidak mau menjawab, aku takut keceplosan dan dia tahu
apa yang sedang ku pikirkan. “ah tidak jadi deh,” sambil tersenyum dia bangkit
berdiri menuju kursinya sendiri.
bersamaan dengan itu anak-anak mulai bermunculan lagi untuk mengikuti
mata pelajaran kedua. Anak-anak tampak tersenyum, selain karena sudah kenyang,
juga karena pelajaran kedua adalah mata pelajaran yang paling disukai yaitu
Bahasa Indonesia.
***
Waktu
serasa berjalan begitu cepat. Tak terasa hari itu tepatnya hari rabu adalah
hari terakhir bagi kami menjalankan aktivitas sebagai pelajar SMP. Lima hari
lagi kami akan mengikuti UAN. Hari itu semua guru tidak masuk mengajar, semua
teman lelakiku memilih bermain sepak bola, sebagai bekal untuk menjadi
kenangan, bila di SMA nanti tidak bersama lagi. Aku yang merasa gaya permain
lebih bruk dari anak SD memilih untuk menonton. Aku duduk di bawah pohon mangga
yang berada tepat di pinggir lapangan. Rasa gembira dan sedih menyelimuti hati
dan pikiranku. Aku bergembira seperti halnya semua teman-temanku yang tampak tak
sabar lagi mengakhiri aktivitas sebagai pelajar SMP, dan beranjak ke jenjang
yang lebih tinggi untuk mencari tantangan dan pengalaman baru. Dibalik
kegembiraan itu, aku merasa sedih, dalam hati aku berpikir dengan berakhirnya
aktivitasku sebagai pelajar SMP, senyuman yang selama ini telah membuatku rajin
ke sekolah tak akan terlihat lagi, walaupun terlihat, tetapi kehangatannya
sudah berbeda. Semua harapan yang telah kususun rapih selama ini, sudah tak
mungkin jadi kenyataan lagi.
Sesekali
ada desakan dari dalam diriku, tapi aku tak tahu pasti itu dari dalam hati atau
hanya dari pikiranku saja untuk berani menyatakan atau mengungkapkan perasaanku
itu. Tetapi entah kenapa bibir dan lidahku seperti terkunci dan sulit untuk
mengungkapkan.
“Haiii….
kenapa tidak ikut?” sebuah suarah yang tidak asing lagi ditelingaku memecahkan
keheninganku. aku balik, ku lihat Nesia dengan Tania berjalan menghampiriku. Di
tangan kiri dan tangan kanan mereka terlihat es krim yang masih utuh. “Haii…
eh.. ada es krim, itu untuk saya yah…” candaku sambil melemparkan senyuman ke arah
mereka. “Ah.. ngga, siapa bilang, ini untuk Jon” Nesia menyambungku. “baiklah…”
jawabku sambil menunjukan wajah cembrut menandakan tidak setuju. Jon adalah
salah satu teman kami yang saat itu ikut bermain sepak bola. Dalam hati aku
sangat terpukul mengingat kedekatan Nesia dan Jon selama ini. Tetapi aku
berusaha untuk tidak menunjukannya kepada mereka kalau aku sebenarnya cemburu…
hehehe….
“Jangan
sedih gitu dong, ini untuk kamu ko, ini ambilin…!!!” Nesia memberikan es krim
yang ada di tangan kanannya. Sambil tergesa-gesa aku menjulurkan tanganku
menerima es krim itu. Karena tak sanggup menatap Nesia aku melemparkan
pandanganku ke Tania, dan melanjutkan senyuman yang awalnya kusugukan untuk
Nesia. “Jawab dulu dong, kenapa kamu tidak ikut, inikan pertandingan terakhir
kita?” mereka berdua serempak bertanya. Aku balik kearah mereka sambil
membersihkan bibirku yang belepotan dengan es krim, “bukannya aku tidak
menghargai moment ini, sebenarnya aku mau ikut, tetapi kamu tahukan permainanku
lebih buruk dari anak SD” mereka semua tertawa, aku hanya tersenyum.
“Nanti
kamu lanjut dimana?” Tanya Nesia. memecahkan keheningan yang sudah sekitar satu
menit tercipta. belum tahu tu, belum ada pilihan yang pasti “kalau kamu berdua di mana?” aku balik
bertanya. “aku juga belum tahu ni, nanti kalau sudah ada jawaban kasi tahu ya,
biar kita sama-sama lagi” lanjutnya sambil tersenyum, tak sempat aku menjawab, mereka sudah berlari
pulang. “kami duluan yah… da..da…”
***
Mentari
pagi bersinar begitu indah, angin bulan Juni bersapoi menghempas embun yang
masih bersarang di daun-daun. Tangkai-tangkai bunga bergoyang lembut semakin lama
semakin tak beraturan, seakan ingin menggambarkan suasana hatiku yang saat
berdetak tidak menentu.
Hari
itu adalah hari pengumuman kelulusan, hatiku berdetak kencang tidak menentu. alasan
yang pertama hatiku berdetak tidak menentu adalah seperti teman-teman yang lain
tidak sabar untuk mengetahui hasil belajarku selama tiga tahun. Yang kedua
dalam hati aku berkata, hari ini aku bisa melihat senyuman Nesia lagi, yang
sudah sejak lama aku rindukan.
Situasi
berubah setelah pengumuman kelulusan, suasana lapangan yang sebelumnya
digunakan untuk Apel, saat itu berubah menjadi dua fenomena, sebagiannya
dibanjiri oleh air mata tangisan dari anak-anak yang tidak lulus, dan sebagian
yang lain dikuasai oleh teriakan-terikan kegembiraan. Aku yang waktu itu
dikuasai oleh kegembiraan, tidak menghiraukan lagi perasaanku dan rencana
awalku untuk melihat senyumannya, yang mungkin untuk terakhir kalinya.
Seiring
waktu berlalu, suasana kembali normal, satu persatu anak-anak mulai hilang dari
pandangan, perlahan keheningan mulai menguasai lapangan yang sempat ramai itu.
Keheningan
itu, membawa aku pada senyuman Nesia, namun setelah kuperhatikan dengan
seksama, senyuman itu tak lagi kutemukan. Aku hampir tak percaya, semuanya
berlalu begitu cepat.
***
Kini
sudah hampir 7 tahun aku tidak melihat senyuman itu secara langsung, tetapi
entah kenapa senyuman itu tetap membekas dalam pikiranku. Terkadang kerinduan
hadir, dan memaksa batinku untuk menemuinya, namun waktu telah membuat semuanya
berubah dan aku menyadari aku bukanlah orang yang pantas untuk menemukan
senyuman itu.
Yah…
Kerinduan adalah resiko dari sebuah pertemuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar